Indonesia tengah dilanda berbagai masalah yang kompleks.
Sistem demokrasi yang seyogyanya menghasilkan masyarakat yang bebas dan
sejahtera, tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang.
Berikut ini adalah beberapa fenomena kegagalan demokrasi di Indonesia.
A. Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan kebijakannya.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat posisi presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan. Namun, di parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang mengusung pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang besar pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan presiden.
Dalam memberhentikan menteri misalnya, presiden sulit untuk memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus” menteri tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya akan semakin memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden sulit mengambil langkah kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat posisi presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan. Namun, di parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang mengusung pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang besar pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan presiden.
Dalam memberhentikan menteri misalnya, presiden sulit untuk memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus” menteri tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya akan semakin memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden sulit mengambil langkah kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.
B. Ketidakstabilan kepemimpinan nasional.
Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mualai dari Soekarno sampai Gus Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir dengan bahagia. Semua berakhir tragis alias diturunkan. Ini sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka. Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana merasionalisasikan harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan tentang proses dalam merealisasikan harapan dan tujuan nasional.
Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan value.
Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mualai dari Soekarno sampai Gus Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir dengan bahagia. Semua berakhir tragis alias diturunkan. Ini sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka. Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana merasionalisasikan harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan tentang proses dalam merealisasikan harapan dan tujuan nasional.
Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan value.
C. Birokrasi yang politis, KKN, dan
berbelit-belit.
Birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu
Korpri dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar.
Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan. Jika
birokrasi tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang memegang pucuk
kebijakan, maka dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya karena birokrasi
yang seharusnya menjalankan kebijakan tersebut memihak pada partai lain.
Aknibatnya kebijakan tinggal kebijakan dan tidak terlaksana. Leibih parahnya,
ini dapat memicu reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian
kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk stabilitas
pemerintahan. Maka seharusnya birokrasi itu netral.
Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh kecil adalah
pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan ketidakpercayaan
yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu berdampak pula pada
iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi karena adanya
kapitalisasi birokrasi.
Hal di atas mendorong pada birokrasi yang tidak rasional.
Kinerja menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip yang
digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.
Sumber: http://zulfikar-robbayani.blogspot.com/2012/03/penyimpangan-demokrasi-yang-berjalan-di.html